Ukhuwwah, setelah generasi pertama ummat Islam berlalu, telah hanya menjadi kata-kata penghias bibir kaum muslimin dan khayalan belaka di benak mereka, sampai kita datang dengan ukhuwah islamiyahnya. Kita telah berusaha menerapkannya di kalangan kita dan menginginkan kembalinya ikatan ummat yang saling bersaudara dengan jiwa ukhuwah islamiyah. Memang untuk meng- ukhuwah islamiyah-kan masyarakat, kita harus mewujudkan dahulu dalam kalangan kita sendiri.
Ikhwah berarti saudara sedarah, sekandung. Setiap mu’min kita jadikan sebagai saudara sekandung, lebih dari sekedar teman kerabat. Rukun ukhuwah adalah ta’aruf, tafahum dan takaful. Ta’aruf yang sempurna adalah dengan mengenali seluruh jati dirinya; fisik, pola berpikir (baca: fikroh), dan jiwanya. Hendaknya kita tidak lalai dalam hal ini, sebab akan dapat membawa resiko. Pernah dalam suatu acara mukhoyyam ikhwah, ketika sedang mengadakan perjalanan yang panjang di malam hari melewati bukit-bukit berbatu, jurang yang dalam, menyeberangi sungai nan deras, seorang ikhwah “hilang” dari barisan Setelah cukup lama, peserta baru sadar ada satu anggota yang “hilang”. Pemandu segera menyusur balik dan akhirnya ditemukan. Usut punya usut ternyata ikhwah yang tertinggal tersebut mempunyai penyakit rabun senja. Untunglah dengan izin Allah SWT al-akh tsb selamat, tak masuk jurang.
Demikianlah satu akibat jika kita tak pernah mengenali ikhwah kita sendiri (fisiknya). Dan mungkin al akh yang menderita sakit tersebut sebelumnya juga tak pernah mengenalkan dirinya kepada ikhwah lainnya. Untuk itu bersegeralah mengenali ikhwah sedini dan sesempurna mungkin, sebaliknya kita juga mengenalkan diri kita kepada ikhwah. Selanjutnya tafahum dan takaful akan terwujud serta membentuk bangunan yang kuat seiring dengan kadar soliditas ukhuwah kita.
Adabut Ta’amul Ma’al Mas’ul (Ketua/Pimpinan)
Dalam da’wah seorang pemimpin mempunyai hak orang tua dalam hubungan ikatan hati, dan ustadz dalam hubungan memberikan ilmu. - Seperti halnya seorang syaikh dalam hubungan tarbiyah ruhiyah. - Menjadi pemimpin dalam hubungan dengan kebijakan politik bagi da’wah secara umum dan da’wah kita menghimpun seluruh nilai-nilai ini.
1. Taat
Yaitu melaksanakan perintah dan merealisasikannya dalam kondisi semangat atau malas dan dalam kondisi sulit ataupun mudah. “Wajib atas seorang muslim mendengar dan taat, dalam keadaan senang maupun benci, kecuali perintah untuk maksiat, karena tak ada ketaatan terhadap makhluq dalam bermaksiyat kepada Allah” (HR. Muslim).
Jama’ah, dalam merealisasikan tujuannya pastilah membutuhkan jundi yang taat dan memahami akan tuntutannya. Ingatlah juga syurut tajnid Asy Syahid Hasan Al Bana; faham, ikhlash, amal, jihad, pengorbanan, taat, tajarrud, tsabat, ukhuwwah, tsiqoh. Tuntutan demikan amatlah logis dan tidak mengada-ada. Organisasi jahat kaliber internasional pun menuntut hal yang identik demikian, bahkan kadang tidak logis. Para agen Mossad Yahudi bahkan tak segan-segan untuk membunuh anggotanya jika terbukti berkhianat.
Jama’ah da’wah tidaklah demikian, orang boleh masuk dan tak akan menahan yang mau keluar darinya. Masing-masing akan memetik buahnya sendiri, baik di dunia maupun di akhirat. Jama’ah kita mempunyai tujuan yang amat mulia, perjuangannya melibatkan antar generasi dalam rentang waktu yang tak terbatas, menegakkan kalimattullah hiyal ‘ulya sampai dunia ini musnah. Hanya tentara Allah SWT sajalah yang mampu menegakkannya, bukan orang yang leda-lede.
2. Tsiqoh
Yakni tentramnya jiwa dengan seluruh yang keluar darinya. Ibarat seorang tentara yang merasa puas dengan komandannya, dalam hal kapasitas kepemimpinannya maupun keikhlasannya, dengan kepuasan yang mendalam yang menghasilkan rasa cinta, penghargaan, penghormatan serta ketaatan. “Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka esuatu keberatan terhadap sesuatu keputusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (An Nisa’ (4):65).
Pemimpin adalah unsur penting dalam dalam da’wah; tak ada da’wah tanpa kepemimpinan. Kadar tsiqoh yang timbal balik antara pemimpin dengan yang dipimpin menjadi neraca yang menentukan sejauhmana kekuatan sistem jama’ah, ketahanan khthithah-nya, keberhasilannya mewujudkan tujuan, dan ketegarannya menghadapi tantangan. Tsiqoh kepada pemimpin adalah segalanya dalam keberhasilan da’wah. Untuk mengetahui kadar ke-tsiqoh-an dirinya terhadap mas’ul-nya bertanyalah kepada diri sendiri dengan tulus mengenai beberapa hal sbb:
- Sejauhmana mengenal mas’ul tentang riwayat hidupnya
- Kepercayaan terhadap kapasitas dan keikhlasannya.
- Kesiapan menerima perbedaan pendapat dengan mas’ul, dan mas’ul telah memberi perintah dan atau larangan yang berbeda dengan pendapat kita.
- Kesiapan meletakkan seluruh aktivitasnya dalam da’wah, dalam kendali mas’ul.
3. Minta izin
Jama’ah mengetahui segala kondisimu dan selalu ada hubungan ruh dan aktivitas dengan jama’ah. Sebenarnya bergerak dalam suatu jama’ah adalah tugas, tanggung jawab, amanat yang harus dipikul oleh pemimpin beserta seluruh anggotanya. Kesemuanya harus terkoordinasi rapi ibarat sebuah bangunan yang kokoh bershaf-shaf. Tidak boleh saling menelantarkan, berperilaku bahaya dan saling membahayakan. Tidak menyempal dari jama’ah atau hilang dari “peredaran” jama’ah dalam kurun waktu tertentu. Harus ada jalinan komunikasi yang efektif serta terus menerus ber-musyarokah.
Asy Syaikh Musthafa Masyur pernah memberi taujihat yang luar biasa: “Mutu jama’ah tergantung dari mutu harokah (gerakan), mutu harokah tergantung dari mutu musyarokah (berserikat), mutu musyarokah tergantung dari mutu muhawaroh (komunikatif, saling keterbukaan), dan mutu muhawaroh tergantung dari bagaimana mutu ukhuwahnya”.
4. Memuliakan mas’ul
Memuliakan, menghormati mas’ul tidak semata-mata didasarkan kepada diri mas’ul, tetapi karena dirinya dipandang sebagai lambang jama’ah yang mengibarkan bendera Islam untuk menyerukan hidayah ke ummat manusia. Setiap gerakan yang merugikan kedudukan pemimpin akan merusak citra dan keutuhan jama’ah.
5. Merahasiakan nasihat
Di antara sifat mu’min adalah suka nasihat menasehati dengan kebenaran dan saling berwasiat dengan kesabaran. Ketinggian kedudukan mas’ul tidak boleh menjadi penghalang untuk itu, dalam rangka untuk memperbaiki amal dan menghindarkan hal-hal negatif. Tidak boleh merasa berat dalam memberi nasihat, begitu juga mas’ul harus lapang dada, dan bersyukur dalam menerimanya.
“Ad dien itu adalah nasihat. Kami bertanya, ‘untuk siapa?’ Rasulullah SAW menjawab, ‘Bagi Allah, Rasul-Nya, pemimpin-pemimpin kaum muslimin dan orang orang awamnya” (HR. Muslim).
Adapun adab yang harus kita jaga dalam memberi nasihat kepada mas’ul adalah dengan memilih ketepatan suasana dan cara. Paling tidak ada tiga hal yang perlu diperhatikan. Pertama, berilah nasihat dalam bentuk yang paling baik, dan nasihat tersebut hendaknya diterima menurut bentuknya. Kedua, dengan menasihatinya secara diam-diam berarti telah menghormati dan memperbaikinya. Sebab jika kita menasihatinya dengan cara terang-terangan di hadapan orang banyak, seolah kita telah mempermalukan dan merendahkannya. Ketiga, tatkala memberi nasihat maka hati/niat kita tidak boleh berubah walau sehelai rambut pun. Tidak merasa lebih mulia, tidak menggurui sehingga menjadikan obyek seolah-olah seorang pesakitan yang penuh dengan kekurangan. Rasa cinta dan hormat kepadanya tak bergeser sedikitpun.
Adabut Ta’amul Ma’al Muayyid (Pendukung) / Junud (Prajurit)
1. Tawazun dalam menilai/memuji, mereka bukanlah segalanya sampai tak menghiraukan yang lain, dan tidak pula meremehkan mereka sehingga kita jadikan mereka sebagai kasta rendah tak bernilai.
2. Mendahulukan yang terpenting dari yang penting, dan permulaan yang terbaik adalah menempatkan aqidah dalam hati
3. Sedikit dalam nasihat.
4. Menghindari cara menggurui, meskipun dengan argumen yang jitu.
5. Hindari jawaban langsung atau kritik pedas
6. Hati-hati dari penyia-nyiaan potensi dengan penyembuhan/membuang urusan-urusan yang sepele atau debat yang tak bermanfaat.
7. Menganggap mereka (mad’u) cerdas dan berilmu, maka jangan terlalu memperpanjang dalam menjelaskan yang aksiomatik (badihiyat).
8. Setiap ucapan ada tempatnya, setiap tempat ada perkataannya, “khotibun naas ‘ala qodri ‘uqulihim “ (maka sampaikanlah pada manusia menurut kadar akalnya).
9. Mempelajari kondisinya dan mengetahui akan halnya: Jangan mencacinya apabila terlambat dari kegiatan Jangan memaksanya ke dalam pekerjaan tertentu Jangan membebani melebihi kemampuan
10. “Membina tidak cukup sehari semalam”.
11. Jadilah qudwah baginya dalam segala sesuatu (“amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan” Ash Shoff: 3)
12. Terus menerus dalam menda’wahi sampai tampak hasilnya.
Adabut Ta’amul Ma’al Ikhwah (Saudara-Saudara Seperjuangan)
1. Husnudzon dan memohonkan maaf pada mereka
2. Menampakkan cinta dan menahan marah serta dendam karena kelalaian mereka
“Janganlah kamu meremehkan perbuatan ma’ruf sedikitpun, walaupun sekedar menunjukkan wajah yang berseri ketika bertemu dengan saudaramu” (HR.Muslim)
“…dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan” (Ali Imron:134)
Manusia adalah tempatnya salah dan lalai. Baik diri kita maupun saudara kita tak luput dari sifat itu. Adalah tidak adil jika kita memarahi saudara, apalagi memutuskan hubungan dengannya ketika lalai. Justru yang paling baik adalah dengan menesihatinya. Setinggi-tinggi martabat pergaulan adalah dengan tetap menjalin kasih sayang baik ketika lalai maupun ingat. Seperti itulah salah satu ciri kehidupan masyarakat muslim.
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka” (Al Fath:29)
Bahkan kadang kala kecintaan itu kita ikrarkan. Abu Kuraimah bin Ma’diy Karib Ra berkata; Bersabda Rasulullah SAW: “Jika seorang mencintai saudaranya, maka beritahukanlah kepadanya bahwa ia mencintainya karena Allah” (Abu Dawud). Sedangkan anjuran untuk menahan marah cukuplah nasihat Rasulullah SAW ketika seseorang datang kepada beliau dan berkata: “Nasihatilah saya”, kemudian Nabi SAW bersabda: “Jangan marah”, kemudian orang itu meminta mengulangi nasihat lagi, jawab Nabi :“Jangan marah” (HR Bukhari). Marah itu menghimpun berbagai kejahatan dan setiap kejahatan membawa dosa, sedangkan menahannya adalah menangkal dosa yang berarti memetik pahala surga. Muadz bin Anas berkata: Bersabda Rasulullah SAW: ”Siapa yang menahan marah padahal ia mampu memuaskannya, maka kelak di hari qiyamat Allah akan memanggilnya di depan sekalian makhluq, kemudian disuruhnya memilih bidadari sekehendaknya” (HR. Abu Daud, At Tirmidzi).
3. Mendo’akan mereka ketika ghaib.
“Mintalah ampun untuk dosamu sendiri dan untuk kaum muslimin lelaki dan perempuan” (Muhammad: 19)
Wujud ukhuwah Islamiyah yang telah dibina Rasulullah SAW ketika periode hijrah sangat nyata, bukan seruan bibir semata. Mereka saling mengutamakan kebutuhan saudaranya yang baru dibina itu Mereka saling memberikan harta bahkan jiwanya untuk sebuah persudaraan karena Allah SWT. Mereka juga memberikan do’anya.
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: ‘Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman” (Al Hasyr: 10)
Abu Darda’ RA berkata, bersabda Rasulullah SAW: “Do’a seorang muslim untuk saudaranya di luar pengetahuan yang dido’akan itu do’a yang mustajab, di atas kepala orang yang berdo’a itu ada Malaikat yang ditugaskan supaya tiap ia berdo’a baik untuk saudaranya itu supaya disambut: amin wa laka bi mitslin (semoga diterima dan untukmu sendiri seperti itu)” (HR. Muslim).
4. Mengakui pertolongan mereka baik dalam senang atau duka sebagai ungkapan bahwa kekuatannya (baca:kita) tidak mungkin bergerak sendiri dalam kehidupan.
5. Tidak suka mencelakakan mereka dan bersegera untuk menghilangkannya/ menolak.
6. Saling menolong, “tolonglah saudaramu baik saat mendzolimi atau saat terdzolimi, yaitu dengan mencegahnya”.
7. Mempermudah urusan-urusan yang sulit.
Salah satu dari ciri seorang muslim adalah suka mempermudah segala urusan yang dialami saudaranya. “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesulitan” (Al Baqarah:185) “Ajarilah olehmu dan mudahkanlah olehmu dan jangan kamu mempersulit, dan jika salah seorang di antara kamu ada yang marah, maka hendaklah kamu diam” (HR. (Bukhari). Dari Ummul Mu’minin RA: “Jika menghadapi dua perkara, Rasulullah akan memilih yang termudah, jika kiranya tidak mengandung dosa. Maka jika urusan itu mengandung dosa, seluruh manusia harus menjauhinya. Dan apa yang menjadi pendirian Rasulullah SAW dalam menghadapi sesuatu, ialah tidak membalas dendam kepada siapapun jika yang disakiti itu hanya dirinya sendiri, kecuali jika larangan Allah telah dilanggar, maka beliau akan marah, dan membalasnya semata-mata hanya karena Allah” (HR. Muttafaq ‘alaih). Abu Qatadah RA berkata: “Aku mendengar Rasulullah SAW berkata, ”Barangsiapa yang memudahkan kesulitan muslim lainnya, untuk mendapatkan keselamatan dari Allah dari kesulitan-kesulitan hari kiamat, maka mudahkanlah kesulitan (orang lain) atau melepaskan bebannya” (HR. Muslim).
8. Memberikan nasihat.
Tak tersisa dalam hidup ini kecuali tiga kelompok: Seorang dimana kamu mendapatkan bergaul/ma’asyaroh dengannya, kalau kamu menyimpang dari jalur dia meluruskanmu, dan dia memberikan cukup kehidupanmu, tidak ada seorang yang bisa membebanimu, dan sholat di masjid jami’ kamu terhindar dari lupa padanya dan mendapatkan penghalang. (Perkataan Hasan Al Bashri). Dan berkata Al Muhasibiy, “Ketahuilah orang yang menasihatimu sungguh dia mencintaimu, dan barangsiapa yang menjilat kamu maka dia menipumu/mengujimu, dan siapa yang tak menerima nasihatmu bukanlah saudaramu”.
Sumber : http://www.hudzaifah.org/Article580.phtml
Ikhwah berarti saudara sedarah, sekandung. Setiap mu’min kita jadikan sebagai saudara sekandung, lebih dari sekedar teman kerabat. Rukun ukhuwah adalah ta’aruf, tafahum dan takaful. Ta’aruf yang sempurna adalah dengan mengenali seluruh jati dirinya; fisik, pola berpikir (baca: fikroh), dan jiwanya. Hendaknya kita tidak lalai dalam hal ini, sebab akan dapat membawa resiko. Pernah dalam suatu acara mukhoyyam ikhwah, ketika sedang mengadakan perjalanan yang panjang di malam hari melewati bukit-bukit berbatu, jurang yang dalam, menyeberangi sungai nan deras, seorang ikhwah “hilang” dari barisan Setelah cukup lama, peserta baru sadar ada satu anggota yang “hilang”. Pemandu segera menyusur balik dan akhirnya ditemukan. Usut punya usut ternyata ikhwah yang tertinggal tersebut mempunyai penyakit rabun senja. Untunglah dengan izin Allah SWT al-akh tsb selamat, tak masuk jurang.
Demikianlah satu akibat jika kita tak pernah mengenali ikhwah kita sendiri (fisiknya). Dan mungkin al akh yang menderita sakit tersebut sebelumnya juga tak pernah mengenalkan dirinya kepada ikhwah lainnya. Untuk itu bersegeralah mengenali ikhwah sedini dan sesempurna mungkin, sebaliknya kita juga mengenalkan diri kita kepada ikhwah. Selanjutnya tafahum dan takaful akan terwujud serta membentuk bangunan yang kuat seiring dengan kadar soliditas ukhuwah kita.
Adabut Ta’amul Ma’al Mas’ul (Ketua/Pimpinan)
Dalam da’wah seorang pemimpin mempunyai hak orang tua dalam hubungan ikatan hati, dan ustadz dalam hubungan memberikan ilmu. - Seperti halnya seorang syaikh dalam hubungan tarbiyah ruhiyah. - Menjadi pemimpin dalam hubungan dengan kebijakan politik bagi da’wah secara umum dan da’wah kita menghimpun seluruh nilai-nilai ini.
1. Taat
Yaitu melaksanakan perintah dan merealisasikannya dalam kondisi semangat atau malas dan dalam kondisi sulit ataupun mudah. “Wajib atas seorang muslim mendengar dan taat, dalam keadaan senang maupun benci, kecuali perintah untuk maksiat, karena tak ada ketaatan terhadap makhluq dalam bermaksiyat kepada Allah” (HR. Muslim).
Jama’ah, dalam merealisasikan tujuannya pastilah membutuhkan jundi yang taat dan memahami akan tuntutannya. Ingatlah juga syurut tajnid Asy Syahid Hasan Al Bana; faham, ikhlash, amal, jihad, pengorbanan, taat, tajarrud, tsabat, ukhuwwah, tsiqoh. Tuntutan demikan amatlah logis dan tidak mengada-ada. Organisasi jahat kaliber internasional pun menuntut hal yang identik demikian, bahkan kadang tidak logis. Para agen Mossad Yahudi bahkan tak segan-segan untuk membunuh anggotanya jika terbukti berkhianat.
Jama’ah da’wah tidaklah demikian, orang boleh masuk dan tak akan menahan yang mau keluar darinya. Masing-masing akan memetik buahnya sendiri, baik di dunia maupun di akhirat. Jama’ah kita mempunyai tujuan yang amat mulia, perjuangannya melibatkan antar generasi dalam rentang waktu yang tak terbatas, menegakkan kalimattullah hiyal ‘ulya sampai dunia ini musnah. Hanya tentara Allah SWT sajalah yang mampu menegakkannya, bukan orang yang leda-lede.
2. Tsiqoh
Yakni tentramnya jiwa dengan seluruh yang keluar darinya. Ibarat seorang tentara yang merasa puas dengan komandannya, dalam hal kapasitas kepemimpinannya maupun keikhlasannya, dengan kepuasan yang mendalam yang menghasilkan rasa cinta, penghargaan, penghormatan serta ketaatan. “Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka esuatu keberatan terhadap sesuatu keputusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (An Nisa’ (4):65).
Pemimpin adalah unsur penting dalam dalam da’wah; tak ada da’wah tanpa kepemimpinan. Kadar tsiqoh yang timbal balik antara pemimpin dengan yang dipimpin menjadi neraca yang menentukan sejauhmana kekuatan sistem jama’ah, ketahanan khthithah-nya, keberhasilannya mewujudkan tujuan, dan ketegarannya menghadapi tantangan. Tsiqoh kepada pemimpin adalah segalanya dalam keberhasilan da’wah. Untuk mengetahui kadar ke-tsiqoh-an dirinya terhadap mas’ul-nya bertanyalah kepada diri sendiri dengan tulus mengenai beberapa hal sbb:
- Sejauhmana mengenal mas’ul tentang riwayat hidupnya
- Kepercayaan terhadap kapasitas dan keikhlasannya.
- Kesiapan menerima perbedaan pendapat dengan mas’ul, dan mas’ul telah memberi perintah dan atau larangan yang berbeda dengan pendapat kita.
- Kesiapan meletakkan seluruh aktivitasnya dalam da’wah, dalam kendali mas’ul.
3. Minta izin
Jama’ah mengetahui segala kondisimu dan selalu ada hubungan ruh dan aktivitas dengan jama’ah. Sebenarnya bergerak dalam suatu jama’ah adalah tugas, tanggung jawab, amanat yang harus dipikul oleh pemimpin beserta seluruh anggotanya. Kesemuanya harus terkoordinasi rapi ibarat sebuah bangunan yang kokoh bershaf-shaf. Tidak boleh saling menelantarkan, berperilaku bahaya dan saling membahayakan. Tidak menyempal dari jama’ah atau hilang dari “peredaran” jama’ah dalam kurun waktu tertentu. Harus ada jalinan komunikasi yang efektif serta terus menerus ber-musyarokah.
Asy Syaikh Musthafa Masyur pernah memberi taujihat yang luar biasa: “Mutu jama’ah tergantung dari mutu harokah (gerakan), mutu harokah tergantung dari mutu musyarokah (berserikat), mutu musyarokah tergantung dari mutu muhawaroh (komunikatif, saling keterbukaan), dan mutu muhawaroh tergantung dari bagaimana mutu ukhuwahnya”.
4. Memuliakan mas’ul
Memuliakan, menghormati mas’ul tidak semata-mata didasarkan kepada diri mas’ul, tetapi karena dirinya dipandang sebagai lambang jama’ah yang mengibarkan bendera Islam untuk menyerukan hidayah ke ummat manusia. Setiap gerakan yang merugikan kedudukan pemimpin akan merusak citra dan keutuhan jama’ah.
5. Merahasiakan nasihat
Di antara sifat mu’min adalah suka nasihat menasehati dengan kebenaran dan saling berwasiat dengan kesabaran. Ketinggian kedudukan mas’ul tidak boleh menjadi penghalang untuk itu, dalam rangka untuk memperbaiki amal dan menghindarkan hal-hal negatif. Tidak boleh merasa berat dalam memberi nasihat, begitu juga mas’ul harus lapang dada, dan bersyukur dalam menerimanya.
“Ad dien itu adalah nasihat. Kami bertanya, ‘untuk siapa?’ Rasulullah SAW menjawab, ‘Bagi Allah, Rasul-Nya, pemimpin-pemimpin kaum muslimin dan orang orang awamnya” (HR. Muslim).
Adapun adab yang harus kita jaga dalam memberi nasihat kepada mas’ul adalah dengan memilih ketepatan suasana dan cara. Paling tidak ada tiga hal yang perlu diperhatikan. Pertama, berilah nasihat dalam bentuk yang paling baik, dan nasihat tersebut hendaknya diterima menurut bentuknya. Kedua, dengan menasihatinya secara diam-diam berarti telah menghormati dan memperbaikinya. Sebab jika kita menasihatinya dengan cara terang-terangan di hadapan orang banyak, seolah kita telah mempermalukan dan merendahkannya. Ketiga, tatkala memberi nasihat maka hati/niat kita tidak boleh berubah walau sehelai rambut pun. Tidak merasa lebih mulia, tidak menggurui sehingga menjadikan obyek seolah-olah seorang pesakitan yang penuh dengan kekurangan. Rasa cinta dan hormat kepadanya tak bergeser sedikitpun.
Adabut Ta’amul Ma’al Muayyid (Pendukung) / Junud (Prajurit)
1. Tawazun dalam menilai/memuji, mereka bukanlah segalanya sampai tak menghiraukan yang lain, dan tidak pula meremehkan mereka sehingga kita jadikan mereka sebagai kasta rendah tak bernilai.
2. Mendahulukan yang terpenting dari yang penting, dan permulaan yang terbaik adalah menempatkan aqidah dalam hati
3. Sedikit dalam nasihat.
4. Menghindari cara menggurui, meskipun dengan argumen yang jitu.
5. Hindari jawaban langsung atau kritik pedas
6. Hati-hati dari penyia-nyiaan potensi dengan penyembuhan/membuang urusan-urusan yang sepele atau debat yang tak bermanfaat.
7. Menganggap mereka (mad’u) cerdas dan berilmu, maka jangan terlalu memperpanjang dalam menjelaskan yang aksiomatik (badihiyat).
8. Setiap ucapan ada tempatnya, setiap tempat ada perkataannya, “khotibun naas ‘ala qodri ‘uqulihim “ (maka sampaikanlah pada manusia menurut kadar akalnya).
9. Mempelajari kondisinya dan mengetahui akan halnya: Jangan mencacinya apabila terlambat dari kegiatan Jangan memaksanya ke dalam pekerjaan tertentu Jangan membebani melebihi kemampuan
10. “Membina tidak cukup sehari semalam”.
11. Jadilah qudwah baginya dalam segala sesuatu (“amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan” Ash Shoff: 3)
12. Terus menerus dalam menda’wahi sampai tampak hasilnya.
Adabut Ta’amul Ma’al Ikhwah (Saudara-Saudara Seperjuangan)
1. Husnudzon dan memohonkan maaf pada mereka
2. Menampakkan cinta dan menahan marah serta dendam karena kelalaian mereka
“Janganlah kamu meremehkan perbuatan ma’ruf sedikitpun, walaupun sekedar menunjukkan wajah yang berseri ketika bertemu dengan saudaramu” (HR.Muslim)
“…dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan” (Ali Imron:134)
Manusia adalah tempatnya salah dan lalai. Baik diri kita maupun saudara kita tak luput dari sifat itu. Adalah tidak adil jika kita memarahi saudara, apalagi memutuskan hubungan dengannya ketika lalai. Justru yang paling baik adalah dengan menesihatinya. Setinggi-tinggi martabat pergaulan adalah dengan tetap menjalin kasih sayang baik ketika lalai maupun ingat. Seperti itulah salah satu ciri kehidupan masyarakat muslim.
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka” (Al Fath:29)
Bahkan kadang kala kecintaan itu kita ikrarkan. Abu Kuraimah bin Ma’diy Karib Ra berkata; Bersabda Rasulullah SAW: “Jika seorang mencintai saudaranya, maka beritahukanlah kepadanya bahwa ia mencintainya karena Allah” (Abu Dawud). Sedangkan anjuran untuk menahan marah cukuplah nasihat Rasulullah SAW ketika seseorang datang kepada beliau dan berkata: “Nasihatilah saya”, kemudian Nabi SAW bersabda: “Jangan marah”, kemudian orang itu meminta mengulangi nasihat lagi, jawab Nabi :“Jangan marah” (HR Bukhari). Marah itu menghimpun berbagai kejahatan dan setiap kejahatan membawa dosa, sedangkan menahannya adalah menangkal dosa yang berarti memetik pahala surga. Muadz bin Anas berkata: Bersabda Rasulullah SAW: ”Siapa yang menahan marah padahal ia mampu memuaskannya, maka kelak di hari qiyamat Allah akan memanggilnya di depan sekalian makhluq, kemudian disuruhnya memilih bidadari sekehendaknya” (HR. Abu Daud, At Tirmidzi).
3. Mendo’akan mereka ketika ghaib.
“Mintalah ampun untuk dosamu sendiri dan untuk kaum muslimin lelaki dan perempuan” (Muhammad: 19)
Wujud ukhuwah Islamiyah yang telah dibina Rasulullah SAW ketika periode hijrah sangat nyata, bukan seruan bibir semata. Mereka saling mengutamakan kebutuhan saudaranya yang baru dibina itu Mereka saling memberikan harta bahkan jiwanya untuk sebuah persudaraan karena Allah SWT. Mereka juga memberikan do’anya.
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: ‘Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman” (Al Hasyr: 10)
Abu Darda’ RA berkata, bersabda Rasulullah SAW: “Do’a seorang muslim untuk saudaranya di luar pengetahuan yang dido’akan itu do’a yang mustajab, di atas kepala orang yang berdo’a itu ada Malaikat yang ditugaskan supaya tiap ia berdo’a baik untuk saudaranya itu supaya disambut: amin wa laka bi mitslin (semoga diterima dan untukmu sendiri seperti itu)” (HR. Muslim).
4. Mengakui pertolongan mereka baik dalam senang atau duka sebagai ungkapan bahwa kekuatannya (baca:kita) tidak mungkin bergerak sendiri dalam kehidupan.
5. Tidak suka mencelakakan mereka dan bersegera untuk menghilangkannya/ menolak.
6. Saling menolong, “tolonglah saudaramu baik saat mendzolimi atau saat terdzolimi, yaitu dengan mencegahnya”.
7. Mempermudah urusan-urusan yang sulit.
Salah satu dari ciri seorang muslim adalah suka mempermudah segala urusan yang dialami saudaranya. “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesulitan” (Al Baqarah:185) “Ajarilah olehmu dan mudahkanlah olehmu dan jangan kamu mempersulit, dan jika salah seorang di antara kamu ada yang marah, maka hendaklah kamu diam” (HR. (Bukhari). Dari Ummul Mu’minin RA: “Jika menghadapi dua perkara, Rasulullah akan memilih yang termudah, jika kiranya tidak mengandung dosa. Maka jika urusan itu mengandung dosa, seluruh manusia harus menjauhinya. Dan apa yang menjadi pendirian Rasulullah SAW dalam menghadapi sesuatu, ialah tidak membalas dendam kepada siapapun jika yang disakiti itu hanya dirinya sendiri, kecuali jika larangan Allah telah dilanggar, maka beliau akan marah, dan membalasnya semata-mata hanya karena Allah” (HR. Muttafaq ‘alaih). Abu Qatadah RA berkata: “Aku mendengar Rasulullah SAW berkata, ”Barangsiapa yang memudahkan kesulitan muslim lainnya, untuk mendapatkan keselamatan dari Allah dari kesulitan-kesulitan hari kiamat, maka mudahkanlah kesulitan (orang lain) atau melepaskan bebannya” (HR. Muslim).
8. Memberikan nasihat.
Tak tersisa dalam hidup ini kecuali tiga kelompok: Seorang dimana kamu mendapatkan bergaul/ma’asyaroh dengannya, kalau kamu menyimpang dari jalur dia meluruskanmu, dan dia memberikan cukup kehidupanmu, tidak ada seorang yang bisa membebanimu, dan sholat di masjid jami’ kamu terhindar dari lupa padanya dan mendapatkan penghalang. (Perkataan Hasan Al Bashri). Dan berkata Al Muhasibiy, “Ketahuilah orang yang menasihatimu sungguh dia mencintaimu, dan barangsiapa yang menjilat kamu maka dia menipumu/mengujimu, dan siapa yang tak menerima nasihatmu bukanlah saudaramu”.
Sumber : http://www.hudzaifah.org/Article580.phtml
Tidak ada komentar:
Posting Komentar